LET's

Kamis, 03 Desember 2015

Kabar Dari Lelaki Bisu

#Cerpen
Oleh : Devi Pratiwi S

Sore itu hujan gerimis mengguyur desa kami, saya tetap menyempatkan pergi ke balai pengobatan dengan Atikah putri tunggal saya, kebetulan ia sedang libur perkuliahan dan menyempatkan pulang ke desa. Pemandangan yang lain seperti biasanya. Balai pengobatan dokter Ardi sepi. Saya hanya menunggu antrian satu orang.
“Ibu Euis” panggil asisten dokter Ardi menandakan giliran pemeriksaan saya, Atikah memilih untuk menunggu di luar ia seorang gadis penyuka hujan gerimis.

“Assalamu’alaikum dokter” sapaku ketika melangkahkan kaki memasuki ruang pemeriksaan.
“Wa’alaikumussalam, ibu selamat sore. Bagaimana sudah membaik?” Jawab dokter Ardi yang selalu hangat menyapa setiap pasiennya.
“ Alhamdulillah dok, kemarin saya sudah melakukan cuci darah pertama. Semoga membaik ya dok, apa ginjal saya bisa kembali normal?”
“In syaa Allah bu, apabila Allah izinkan ibu sembuh kembali. Saya dan tim dokter hanya bisa membantu sesuai kemampuan yang kami miliki. Seperti yang terjadi pada bapak beliau sembuh karena izin Allah ya bu. Mari saya cek hasil pemerikaan lab terakhirnya ibu”

Dokter ini memang sangat sigap, ia membantu menyembuhkan suami saya yang tahun lalu harus melakukan operasi empedu. Kami sering bertemu selepas bapak sembuh, saya sering mengundangnya ke rumah. Ia sudah saya anggap seperti anak sendiri. Mengingat saya hanya memiliki anak satu.

“Hasil lab.nya sudah saya periksa bu. Obat yang diberikan oleh saya dari RSUD dihabiskan. Nanti bulan depan mau tidak mau ibu harus cuci darah kembali. In syaa Allah semoga bisa sembuh. Jangan terlalu banyak meminum obat herbal yang kurang diyakini manfaatnya bu, karena ginjal ibu belum bisa menyaring dengan baik. Dikhawatirkan keadaannya makin memburuk, tekanan darah juga alhamdulillah sudah tidak tinggi lagi ya buk” sarannya

Pemeriksaan kesehatan hanya dilakukan sebentar, saya berbincang sedikit dengan dokter Ardi ada satu keheranan di dalam diri. Kenapa seorang anak muda yang sudah sukses seperti anak ini, belum menikah juga. Wajah tampan rupawan, karir seorang dokter yang mungkin sudah terbilang sukses dan tidak mudah di dapat. Ah rasanya terlalu malu kalau harus menjodohkan dengan Atikah yang kuliahnya tak kunjung selesai.

“Dokter, saya ingin menanyakan sesuatu boleh ? mungkin ini agak personal”
“boleh bu mangga tanyakan saja, panggil saya Ardi saja bu. Ibu Euis sudah saya anggap sebagai ibu saya sendiri. Mengingat di desa ini saya sebatang kara, kala saya rindu masakan ibu saya di desa saya sering datang ke rumah ibukan. Sekedar numpang mencicipi nasi liwet dan sambal buatan ibu ” jawabnya  ramah

 “ Usia nak ardi sekarang berapa? Sudah mapan, tampan, beriman apa tidak berniat menikah ? mungkin terlalu sibuk dalam pencapaian karir? Memang gak ada waktu buat urusan asmara ?” Tanya saya bertubi-tubi penasaran
“ ahahaha bu euis saya sampai bingung menjawab yang mana dulu” candanya sore itu
“ Yah saya nanya serius dok, lah cepat disegerakan! pernikahan itu ibadah nak ardi apalagi jika sudah mantap dengan calonnya di desa lebih baik lamar, nikahi. Nanti terlambat loh “
Dokter ardi hanya tersenyum, tersirat di matanya ada sesuatu hal yang belum melegakan hatinya.

“ Ibu mungkin bukan orang pertama yang menanyakan ini. Teman, sahabat, orang tua saya pun sering sekali menanyakan perihal ini terhadap saya. Malah ada salah satu keluarga saya mengira saya penyuka sesama jenis, karena tidak pernah melihat saya menjalin ikatan dengan perempuan apalagi membawanya ke rumah di desa. Usia saya mulai memasuki kepala tiga bu mungkin Allah belum mempertemukan saya dengan jodohnya”

“ Iya nak, ibu tau Allah belum pertemukan. Tapi jodoh itu memang takdir yang harus kita perjuangkan. Apalagi ibu dengar nak Ardi akan kembali ke kota untuk sekolah spesialis? Memang tidak ada dokter atau perempuan yang pernah menarik hati?”

“ ahaha seorang manusia jika belum pernah jatuh cinta itu mustahil bu sehebat dan sesibuk apapun orang itu, tokoh sukses sekelas bapak Soekarno, Bapak BJ Habibi saja pasti memiliki kisah cinta di dalam hidupnya. Bahkan orang sekejam Hittler saya yakin pernah mengalami roman picisan hanya saja mungkin alur dan takdirnya yang berbeda. Jika ibu tanyakan tentang saya, tentu pun saya pernah mengalaminya bu tapi mungkin kesalahan saya yang masih merasa bersalah tentang arti sebuah keterlambatan itu” bicaranya sedikit mulai perlahan dan seperti mulai menerawang sesuatu kejadian

Saya hampir bingung menanggapinya.

“ Mungkin ibu sudah saya anggap sebagai orang terdekat saya, ini yang bisa menggambarkan alasan saya mengapa belum memutuskan untuk menikah. Masih ada bayangan masalalu yang tidak pernah saya tahu kapan akan selesai, dan sore ini pada keadaan gerimis dan suara lantunan orang mengaji di mesjid itu mengingatkan saya kepada dia bu”

Dokter Ardi menyerahkan sebuah kotak kayu, yang ia ambil di lemari kerjanya. Kotak itu hanya berukuran kecil berisi: gantungan kunci, selembar foto berwarna sepia bergambarkan perempuan memakai seragam SMA yang mungkin tidak terlalu cantik, ia berjilbab rapi, bermata indah sedikit belo jika orang sunda menyebutnya, telihat sangat manis dengan senyuman yang membuat hati teduh  melihatnya. Selain itu ada selembar kertas yang sedikit usang.

Dokter Ardi meminta saya membacakan isi dari kertas itu :

Dari yang terlambat

Kubacakan kembali surat ini kepadamu, surat yang mungkin ditujukan untuk diriku sendiri kala kamu tidak pernah sempat membaca setiap baitnya. Dan dikala aku rindu dari seorang lelaki bisu.

Aruni
Kita sepasang merpati, dengan rindu yang tak pernah semusim
Yang terbang tak pernah beriringan
Sedangkan kenangan tak pernah luput dari ingatan

Aruni
Aku telah berkali-kali bertemu dengan perempuan tercantik
Tapi tak ada gadis yang senyaman dan semanis wujudmu dalam ingatan
Gadis yang ku temui di halaman surau bertahun-tahun yang lalu
Aku tau kau pernah  jatuh cinta bukan kepadaku
Aku tau kau telah merasakan pahitnya mencintai
Jika luka itu terus menggerogoti hati lembutmu
Bukalah lapang-lapang agar kelak aku leluasa mematikan sakitnya.

Aruni
Seperti yang kau tahu
Mata dunia mungkin menertawakan pemuda sepertiku
Pemuda yang tak pernah berani menjalin ikatan
Memilih sendiri dan menebar do’a
Semoga kamulah yang pertama dan terakhir mendampingiku
Aku acuhkan saja jika mungkin hari ini banyak yang mendekat juga
menanti dirimu
Karena Tuhan selalu mempunyai cara untuk menyatukan atau menjauhkan
Aku kau dan mereka

Aruni,
Hari itu aku memilih untuk pergi, bukan untuk meninggalkanmu
Bersama surat yang sejatinya mungkin kutulis untuk diriku sendiri
Sebagai tertanda pernah ada laki-laki pengecut di dunia
Tanpa pernah kuberi kesempatan kamu membaca di setiap baitnya
Mencoba menabahkan diri agar suatu saat jika aku datang kepadamu
Aku bisa lebih bernyali untuk membuat ikatan pasti diantara kita
Tanpa kupedulikan masalalumu

Dari sahabat setiamu
Ardhika

Hari ini tepat aku berdiri di surau itu, menggengam selembar surat yang sudah tak lagi berguna, disini kala pertama kali aku melihatmu tersenyum dengan memeluk sebuah Al-qur’an, jilbab terurai dan sebuah kaca mata menutupi indah matamu. Aruni namanya.

Dulu ketika aku masih senang bermain petasan dan ayahmu memarahiku kala petasan itu meledak tepat di depan halaman rumahmu. Kau hanya tersenyum di balik jendela.
Atau ketika hari raya tiba adalah hal yang paling aku tunggu, kapan lagi aku bersama keluargaku bisa bersilahturahmi kepada keluargamu, mencicipi kue wajit atau opor buatan ibumu. Pada saat itu kucuri foto gadis penghuni rumah yang hanya kutinggalkan bingkainya saja di meja ruang tamumu. Semoga Allah maafkan atas dosa  pada hari itu, kala aku mencuri untuk pertama dan terakhir.

Satu yang selalu ku ingat ketika kita sama-sama lulus SMA. Raut wajahmu nampak bingung, antara sedih juga bahagia. Kala itu kita sama-sama mendaftarkan diri mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri di jurusan kedokteran sesuai yang kita cita-citakan. Aku yang sangat beruntung bisa lolos seleksi itu, padahal sedari SMP aku sering sekali mencontek PR kepadamu. Sementara Allah belum mengijinkan kamu lolos. Tapi kamu memilih sekolah di keperawatan. Katamu kala itu “ Dika yang jadi dokter, Runi jadi perawat saja nanti mengabdi di desa. Dokter banyak amalnya karena menolong kehidupan orang lain, perawat juga tidak kalah banyak amalnya karena selain memudahkan pekerjaan dokter dia juga menolong dengan merawat manusia yang sedang kesusahankan? Jadi  double di amalnya.” katamu menghibur diri sambil memberiku sebuah gantungan kunci “innallaha ma’ana” Allah bersama kita.    

Aruni mungkin ini salahku yang terlalu datang terlambat. Surat ini benar-benar belum sempat aku sampaikan padamu terutama perasaan yang terus menghujam disetiap langkah tugasku aku selalu ingat do’a terbaik selain dari ibu yang kamu berikan untukku, kamu menyempatkan datang selepas mengajarkan anak-anak itu mengaji di surau ini, hanya untuk melihat aku pergi dalam perantauan kita bertemu beberapa saat di atas jembatan gantung perbatasan desa saat terakhir kali aku melihat wajahmu. “Semoga Allah memberikan kemudahan disetiap tugas yang  dijalani, semoga Allah memberikan yang terbaik apapun itu” katamu kala itu.

Pernah aku membayangkan sebuah keterlambatan seperti saat ini:
Kau duduk berdua dalam sebuah pelaminan tersenyum bahagia dengan seorang pria yang terlebih dulu berani meminta pada ayahmu. Setidaknya jika hal itu terjadi aku masih bisa melihatmu bahagia menjalani sisa kehidupan dengan seseorang yang digariskan untukmu, meski bukan aku.

 Aku terlambat mengutarakan niat baik ini. Sulit sekali menjelaskan menjadi seorang laki-laki yang datang terlambat. Aku terlalu lama mempertimbangkan kekhawatiran, terlalu lama menghitung kecemasan dan terlalu banyak berasumsi atau bahkan cemburu terhadap orang-orang yang mendekatimu.

Tapi hari ini lebih buruk dari itu:
Aku termenung duduk di atas teras surau ini,  setelah selesai melaksanakan shalat atas kepergianmu yang mungkin lekukan mata indah itu tak pernah bisa kutemui lagi, keranda itu membawa tubuhmu dalam peristirahatan terakhir. Aku masih tidak percaya atas berita duka yang aku dengar malam tadi. Sebuah kecelakaan lalu lintas pada bis yang kamu tumpangi ketika kamu akan pergi bertugas kerumah sakit hari itu. Kita memang tidak pernah tahu, kapan maut akan menjemput.  Aku tidak pernah mengerti kenapa Allah selalu memanggil orang baik terlebih dahulu. Tapi aku yakin keshalihan atas dirimu akan membawa kebahagiaan yang hakiki di kehidupanmu yang baru. Allah terlalu sayang padamu Aruni. Meski harus secepat ini. 

Adakalanya cinta itu harus disimpan diam-diam tapi ada kalanya ia harus terungkap dan tidak tertunda-tunda jika memang semua terasa tepat. Kita akan merasakan suatu keterlambatan yang mendalam dan menyesali arti sebuah kebisuan jika harapan dan tujuan telah hilang. 


Ketika dalam perantauan dulu aku selalu memegang prinsip “ Yakinilah sesuatu yang telah ditakdirkan menjadi milik kita, Allah tidak akan membiarkannya menjadi milik orang lain” tapi aku lupa bahwa sepenuhnya kamu adalah milik Allah dan kapan saja Allah dapat mengambilnya.



Aruni, jika dunia ini tidak mengizinkan kita untuk bersatu semoga rencana Allah atas kita indah pada kehidupan setelahnya, menjadikannya indah milik Allah semata.
Tapi seandainya aku tidak terlambat, dan Allah tidak terlebih dulu memanggilmu. Apa kau masih mau menerima pemuda yang terlalu banyak pertimbangan sepertiku hingga sampai hati aku melewatkanmu ? .


Saya hanya menatap dokter Ardi sangat dalam, ternyata di dunia yang saya kira sudah kejam ini masih ada seorang pemuda yang pernah mencintai seorang wanita tulus dan dalam.

“ Semoga Aruni selalu di sisi Allah dan nak ardi bisa melanjutkan masa depan dengan seorang yang Allah pilihkan, itu do’a ibu “. 

“Aamiin”. Senyumnya penuh harap terlihat masih ada riwayat luka akan kehilangan dimatanya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar