#Cerpen
Oleh
: Devi Pratiwi S
Sore
itu hujan gerimis mengguyur desa kami, saya tetap menyempatkan pergi ke
balai pengobatan dengan Atikah putri tunggal saya, kebetulan ia sedang libur perkuliahan dan menyempatkan pulang ke desa. Pemandangan yang lain seperti
biasanya. Balai pengobatan dokter Ardi sepi. Saya hanya menunggu antrian satu
orang.
“Ibu
Euis” panggil asisten dokter Ardi menandakan giliran pemeriksaan saya, Atikah
memilih untuk menunggu di luar ia seorang gadis penyuka hujan gerimis.
“Assalamu’alaikum
dokter” sapaku ketika melangkahkan kaki memasuki ruang pemeriksaan.
“Wa’alaikumussalam,
ibu selamat sore. Bagaimana sudah membaik?” Jawab dokter Ardi yang selalu hangat
menyapa setiap pasiennya.
“
Alhamdulillah dok, kemarin saya sudah melakukan cuci darah pertama. Semoga
membaik ya dok, apa ginjal saya bisa kembali normal?”
“In
syaa Allah bu, apabila Allah izinkan ibu sembuh kembali. Saya dan tim dokter
hanya bisa membantu sesuai kemampuan yang kami miliki. Seperti yang terjadi
pada bapak beliau sembuh karena izin Allah ya bu. Mari saya cek hasil
pemerikaan lab terakhirnya ibu”
Dokter
ini memang sangat sigap, ia membantu menyembuhkan suami saya yang tahun lalu
harus melakukan operasi empedu. Kami sering bertemu selepas bapak sembuh, saya
sering mengundangnya ke rumah. Ia sudah saya anggap seperti anak sendiri.
Mengingat saya hanya memiliki anak satu.
“Hasil
lab.nya sudah saya periksa bu. Obat yang diberikan oleh saya dari RSUD dihabiskan.
Nanti bulan depan mau tidak mau ibu harus cuci darah kembali. In syaa Allah
semoga bisa sembuh. Jangan terlalu banyak meminum obat herbal yang kurang
diyakini manfaatnya bu, karena ginjal ibu belum bisa menyaring dengan baik.
Dikhawatirkan keadaannya makin memburuk, tekanan darah juga alhamdulillah sudah
tidak tinggi lagi ya buk” sarannya
Pemeriksaan kesehatan hanya dilakukan
sebentar, saya berbincang sedikit dengan dokter Ardi ada satu keheranan di
dalam diri. Kenapa seorang anak muda yang sudah sukses seperti anak ini, belum
menikah juga. Wajah tampan rupawan, karir seorang dokter yang mungkin sudah
terbilang sukses dan tidak mudah di dapat. Ah rasanya terlalu malu kalau harus menjodohkan
dengan Atikah yang kuliahnya tak kunjung selesai.
“Dokter,
saya ingin menanyakan sesuatu boleh ? mungkin ini agak personal”
“boleh
bu mangga tanyakan saja, panggil saya Ardi saja bu. Ibu Euis sudah saya anggap
sebagai ibu saya sendiri. Mengingat di desa ini saya sebatang kara, kala saya
rindu masakan ibu saya di desa saya sering datang ke rumah ibukan. Sekedar
numpang mencicipi nasi liwet dan sambal buatan ibu ” jawabnya ramah
“ Usia nak ardi sekarang berapa? Sudah mapan,
tampan, beriman apa tidak berniat menikah ? mungkin terlalu sibuk dalam
pencapaian karir? Memang gak ada waktu buat urusan asmara ?” Tanya saya
bertubi-tubi penasaran
“
ahahaha bu euis saya sampai bingung menjawab yang mana dulu” candanya sore itu
“
Yah saya nanya serius dok, lah cepat disegerakan! pernikahan itu ibadah nak
ardi apalagi jika sudah mantap dengan calonnya di desa lebih baik lamar,
nikahi. Nanti terlambat loh “
Dokter
ardi hanya tersenyum, tersirat di matanya ada sesuatu hal yang belum melegakan
hatinya.
“
Ibu mungkin bukan orang pertama yang menanyakan ini. Teman, sahabat, orang tua
saya pun sering sekali menanyakan perihal ini terhadap saya. Malah ada
salah satu keluarga saya mengira saya penyuka sesama jenis, karena tidak pernah
melihat saya menjalin ikatan dengan perempuan apalagi membawanya ke rumah di
desa. Usia saya mulai memasuki kepala tiga bu mungkin Allah belum mempertemukan
saya dengan jodohnya”
“
Iya nak, ibu tau Allah belum pertemukan. Tapi jodoh itu memang takdir yang
harus kita perjuangkan. Apalagi ibu dengar nak Ardi akan kembali ke kota untuk
sekolah spesialis? Memang tidak ada dokter atau perempuan yang pernah menarik
hati?”
“
ahaha seorang manusia jika belum pernah jatuh cinta itu mustahil bu sehebat dan
sesibuk apapun orang itu, tokoh sukses sekelas bapak Soekarno, Bapak BJ Habibi
saja pasti memiliki kisah cinta di dalam hidupnya. Bahkan orang sekejam Hittler
saya yakin pernah mengalami roman picisan
hanya saja mungkin alur dan takdirnya yang berbeda. Jika ibu tanyakan tentang
saya, tentu pun saya pernah mengalaminya bu tapi mungkin kesalahan saya yang
masih merasa bersalah tentang arti sebuah keterlambatan itu” bicaranya sedikit
mulai perlahan dan seperti mulai menerawang sesuatu kejadian
Saya
hampir bingung menanggapinya.
“
Mungkin ibu sudah saya anggap sebagai orang terdekat saya, ini yang bisa
menggambarkan alasan saya mengapa belum memutuskan untuk menikah. Masih ada
bayangan masalalu yang tidak pernah saya tahu kapan akan selesai, dan sore ini
pada keadaan gerimis dan suara lantunan orang mengaji di mesjid itu
mengingatkan saya kepada dia bu”
Dokter
Ardi menyerahkan sebuah kotak kayu, yang ia ambil di lemari kerjanya. Kotak itu
hanya berukuran kecil berisi: gantungan kunci, selembar foto berwarna sepia bergambarkan perempuan memakai seragam SMA yang
mungkin tidak terlalu cantik, ia berjilbab rapi, bermata indah
sedikit belo jika orang sunda menyebutnya, telihat sangat manis dengan senyuman yang membuat
hati teduh melihatnya. Selain itu ada selembar kertas yang sedikit usang.
Dokter
Ardi meminta saya membacakan isi dari kertas itu :
Dari
yang terlambat
Kubacakan kembali surat ini kepadamu, surat yang mungkin ditujukan untuk diriku
sendiri kala kamu tidak pernah sempat membaca setiap baitnya. Dan dikala aku
rindu dari seorang lelaki bisu.
Aruni
Kita sepasang
merpati, dengan rindu yang tak pernah semusim
Yang terbang tak
pernah beriringan
Sedangkan kenangan
tak pernah luput dari ingatan
Aruni
Aku telah
berkali-kali bertemu dengan perempuan tercantik
Tapi tak ada gadis
yang senyaman dan semanis wujudmu dalam ingatan
Gadis yang ku temui
di halaman surau bertahun-tahun yang lalu
Aku tau kau pernah jatuh cinta bukan kepadaku
Aku tau kau telah merasakan
pahitnya mencintai
Jika luka itu terus
menggerogoti hati lembutmu
Bukalah lapang-lapang
agar kelak aku leluasa mematikan sakitnya.
Aruni
Seperti yang kau tahu
Mata dunia mungkin
menertawakan pemuda sepertiku
Pemuda yang tak
pernah berani menjalin ikatan
Memilih sendiri dan
menebar do’a
Semoga kamulah yang
pertama dan terakhir mendampingiku
Aku acuhkan saja jika
mungkin hari ini banyak yang mendekat juga
menanti dirimu
Karena Tuhan selalu
mempunyai cara untuk menyatukan atau menjauhkan
Aku kau dan mereka
Aruni,
Hari itu aku memilih
untuk pergi, bukan untuk meninggalkanmu
Bersama surat yang
sejatinya mungkin kutulis untuk diriku sendiri
Sebagai tertanda
pernah ada laki-laki pengecut di dunia
Tanpa pernah kuberi
kesempatan kamu membaca di setiap baitnya
Mencoba menabahkan
diri agar suatu saat jika aku datang kepadamu
Aku bisa lebih
bernyali untuk membuat ikatan pasti diantara kita
Tanpa kupedulikan
masalalumu
Dari sahabat setiamu
Ardhika
Hari
ini tepat aku berdiri di surau itu, menggengam selembar surat yang sudah tak
lagi berguna, disini kala pertama kali aku melihatmu tersenyum dengan memeluk
sebuah Al-qur’an, jilbab terurai dan sebuah kaca mata menutupi indah matamu.
Aruni namanya.
Dulu
ketika aku masih senang bermain petasan dan ayahmu memarahiku kala petasan itu
meledak tepat di depan halaman rumahmu. Kau hanya tersenyum di balik jendela.
Atau
ketika hari raya tiba adalah hal yang paling aku tunggu, kapan lagi aku bersama
keluargaku bisa bersilahturahmi kepada keluargamu, mencicipi kue wajit atau
opor buatan ibumu. Pada saat itu kucuri foto gadis penghuni rumah yang hanya
kutinggalkan bingkainya saja di meja ruang tamumu. Semoga Allah maafkan atas
dosa pada hari itu, kala aku mencuri untuk pertama dan terakhir.
Satu
yang selalu ku ingat ketika kita sama-sama lulus SMA. Raut wajahmu nampak
bingung, antara sedih juga bahagia. Kala itu kita sama-sama mendaftarkan diri
mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri di jurusan kedokteran sesuai
yang kita cita-citakan. Aku yang sangat beruntung bisa lolos seleksi itu,
padahal sedari SMP aku sering sekali mencontek PR kepadamu. Sementara Allah
belum mengijinkan kamu lolos. Tapi kamu memilih sekolah di keperawatan. Katamu
kala itu “ Dika yang jadi dokter,
Runi jadi perawat saja nanti mengabdi di desa. Dokter banyak amalnya karena
menolong kehidupan orang lain, perawat juga tidak kalah banyak amalnya karena
selain memudahkan pekerjaan dokter dia juga menolong dengan merawat manusia yang sedang kesusahankan?
Jadi double di amalnya.” katamu menghibur diri sambil memberiku sebuah
gantungan kunci “innallaha ma’ana”
Allah bersama kita.
Aruni
mungkin ini salahku yang terlalu datang terlambat. Surat ini benar-benar belum
sempat aku sampaikan padamu terutama perasaan yang terus menghujam disetiap
langkah tugasku aku selalu ingat do’a terbaik selain dari ibu yang kamu berikan
untukku, kamu menyempatkan datang selepas mengajarkan anak-anak itu mengaji di
surau ini, hanya untuk melihat aku pergi dalam perantauan kita bertemu beberapa
saat di atas jembatan gantung perbatasan desa saat terakhir kali aku melihat
wajahmu. “Semoga Allah memberikan
kemudahan disetiap tugas yang dijalani,
semoga Allah memberikan yang terbaik apapun itu” katamu kala itu.
Pernah
aku membayangkan sebuah keterlambatan seperti saat ini:
Kau
duduk berdua dalam sebuah pelaminan tersenyum bahagia dengan seorang pria yang
terlebih dulu berani meminta pada ayahmu. Setidaknya jika hal itu terjadi aku
masih bisa melihatmu bahagia menjalani sisa kehidupan dengan seseorang yang
digariskan untukmu, meski bukan aku.
Aku terlambat mengutarakan niat baik ini. Sulit
sekali menjelaskan menjadi seorang laki-laki yang datang terlambat. Aku terlalu
lama mempertimbangkan kekhawatiran, terlalu lama menghitung kecemasan dan
terlalu banyak berasumsi atau bahkan cemburu terhadap orang-orang yang
mendekatimu.
Tapi
hari ini lebih buruk dari itu:
Aku
termenung duduk di atas teras surau ini, setelah selesai melaksanakan shalat atas
kepergianmu yang mungkin lekukan mata indah itu tak pernah bisa kutemui lagi,
keranda itu membawa tubuhmu dalam peristirahatan terakhir. Aku masih tidak
percaya atas berita duka yang aku dengar malam tadi. Sebuah kecelakaan lalu
lintas pada bis yang kamu tumpangi ketika kamu akan pergi bertugas kerumah
sakit hari itu. Kita memang tidak pernah tahu, kapan maut akan menjemput. Aku tidak pernah mengerti kenapa Allah selalu
memanggil orang baik terlebih dahulu. Tapi aku yakin keshalihan atas dirimu
akan membawa kebahagiaan yang hakiki di kehidupanmu yang baru. Allah terlalu
sayang padamu Aruni. Meski harus secepat ini.
Adakalanya cinta itu harus disimpan diam-diam tapi ada kalanya ia harus terungkap dan tidak tertunda-tunda jika memang semua terasa tepat. Kita akan merasakan suatu keterlambatan yang mendalam dan menyesali arti sebuah kebisuan jika harapan dan tujuan telah hilang.
Ketika
dalam perantauan dulu aku selalu memegang prinsip “ Yakinilah sesuatu yang telah ditakdirkan menjadi milik kita, Allah
tidak akan membiarkannya menjadi milik orang lain” tapi aku lupa bahwa
sepenuhnya kamu adalah milik Allah dan kapan saja Allah dapat mengambilnya.
Aruni, jika dunia ini tidak mengizinkan kita untuk
bersatu semoga rencana Allah atas kita indah pada kehidupan setelahnya,
menjadikannya indah milik Allah semata.
Tapi seandainya aku tidak terlambat, dan Allah tidak
terlebih dulu memanggilmu. Apa kau masih mau menerima pemuda yang terlalu
banyak pertimbangan sepertiku hingga sampai hati aku melewatkanmu ? .
Saya hanya menatap dokter Ardi sangat dalam, ternyata di
dunia yang saya kira sudah kejam ini masih ada seorang pemuda yang pernah
mencintai seorang wanita tulus dan dalam.
“ Semoga Aruni selalu di sisi Allah dan nak ardi bisa
melanjutkan masa depan dengan seorang yang Allah pilihkan, itu do’a ibu
“.
“Aamiin”. Senyumnya penuh harap terlihat masih ada
riwayat luka akan kehilangan dimatanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar